Asal Mula istilah Narsis. Konsep dan
istilah narsisisme atau narsisistik berawal dari mitologi Yunani kuno tentang
seorang pemuda tampan yang bernama Narsisus. Narsisus adalah putra dewa sungai,
Cephissus. Pada saat itu Echo, seorang dewi yang tidak bisa berbicara, jatuh cinta
kepadanya. Namun Narcisus bertindak kejam dan menolak cinta Echo. Pada suatu
hari, Narsisus melewati sebuah danau yang sangat bening airnya dan melihat
pantulan dirinya sendiri. Narsisus sangat mengagumi dan jatuh cinta pada
pantulan itu. Narsisus sangat ingin menjamah dan memiliki wajah yang
dilihatnya, tapi setiap kali mengulurkan tangannya untuk meraih pantulan itu,
bayangan itu kemudian menghilang.
Narsisus
tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi obyek
kekagumannya sampai mau menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau dan akhirnya
mati. Para dewa merasa kasihan padanya, sehingga Narsisus ditranformasikan
menjadi tumbuhan berbunga yang diberi nama Narsisus berwarna kuning cerah, dan
dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil. Mitologi ini digunakan dalam
Psikologi pertama kalinya oleh Sigmund Freud (1856-1939) untuk menggambarkan
individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Freud menamakan “The
narsissists” dan pelakunya disebut individu narsisistik atau seorang
narsisis (http://www.psikologiums.net).
Lebih lanjut
Fromm berpendapat, narsisme merupakan kondisi pengalaman
seseorang yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah
tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang
yang masih ada hubungan dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang
tidak menjadi bagiannya senatiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak
memiliki arti, dan karenanya tidak perlu dihiraukan. Bahkan, ketika yang lain
itu dianggap sebagai ancaman, apa pun bisa dilakukan, melalui agresi sekalipun
(Pikiran Rakyat, 14/04/2003).
Menurut
Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000),
orang yang narcissistic atau narsistik memandang dirinya dengan cara
yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang
lain memberikan pujian. Menurut Rathus dan Nevid (2000) dalam bukunya, Abnormal
Psychology orang yang narsistik memandang dirinya dengan cara yang
berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain
memberikan pujian (Kompas, Jumat, 01 April 2005).
Sedangkan
menurut Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders – Fourth Edition) orang yang narsistik akan mengalami gangguan
kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian
narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini
ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling
penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan
disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya
layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.
Lebih lanjut
menurut Menurut Sadarjoen (2003) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya, The
Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada
remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa
berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol
moral yang kuat, dan kurang rasional. Kedua aspek terakhir inilah yang paling
kuat memicu narsisme yang berefek gawat.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku narsistik ditandai dengan
kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang
sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain
itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar